| Pada setiap tanggal 9 Desember, sebagaimana pada hari ini, diperingati
sebagai hari anti korupsi sedunia. Tadi malam Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono berpidato menyambut hari anti korupsi itu. Dia menyerukan
kepada semua warga negara agar melanjutkan perjuangan melawan kejahatan
itu. Presiden di antaranya juga menyatakan ingin selalu berada di garda
depan dalam segala gerakan melawan korupsi. Bahkan, karena begitu
semangatnya, ia menyatakan bahwa melawan korupsi sebagai jihad. Dengan
tegas, -------saya saksikan sendiri, ia mengatakan : “saya akan jihad
melawan korupsi”.
Sedemikian serius genderang perang melawan
korupsi. Tetapi sesungguhnya, yang perlu dipertanyakan adalah, siapa
sebenarnya yang harus dimusuhi itu. Istilah korupsi lekat dengan dunia
birokrasi. Korupsi ada di kantor-kantor, baik kantor pemerintah ataupun
juga swasta. Selama ini, korupsi di kantor pemerintah lebih popular
daripada di tempat lainnya.
Seandainya ada penyimpangan
keuangan atau bentuk harta kekayaan lainnya, jika itu terjadi di luar
kantor pemerintah, biasanya tidak disebut sebagai korupsi. Kegiatan
ekonomi di pasar, di kebun, di laut yang dilakukan oleh para nelayan
penangkap ikan, umumnya tidak pernah dikenal ada tindak korupsi.
Penyimpangan selalu ada di mana-mana, termasuk penyimpangan keuangan.
Tetapi penyimpangan selain di kantor pemerintah, biasanya tidak disebut
dengan istilah korupsi. Sekalipun bentuk penyimpangan sama, jika hal itu
dilakukan di luar kantor pemerintah, maka menggunakan sebutan lain,
seperti misalnya ghasab, ngemplang, mencuri, merampok, merompak,
menyolet dan lain-lain.
Dengan demikian, korupsi memang hanya
terjadi di kantor-kantor birokrasi. Oleh karena itu jika selama ini
dikumandangkan gerakan anti korupsi, maka sasarannya adalah jelas,
Perang itu adalah melawan orang-orang yang menggelapkan keuangan di
kantor-kantor pemerintah untuk kepentingan dirinya sendiri. Mereka itu
ada di kantor-kantor berbagai departemen. Selain itu juga ada di
pemerintahan mulai dari di kantor RT, RW, (kalau ada uangnya) kepala
desa, camat, bupati atau wali kota, gubernur, hingga di kantor presiden.
Berangkat dari pemahaman seperti itu, maka sasaran perang
melawan korupsi, adalah jelas atau tidak terlalu abstrak. Keberadaan
musuh itu jelas dan atau tidak terlalu rumit untuk dicari. Melawan
korupsi tidak perlu ke tengah pasar, kecuali menemui juru bayar
restribusi, tidak perlu ke tengah sawah atau kebun kecuali menemui para
penyuluh pertanian, tidak perlu ke hutan kecuali menemui mandor hutan,
untuk menyelidiki apakah mereka telah menunaikan tugas sebaik-baiknya.
Sasaran perang melawan korupsi, adalah para pejabat atau pegawai
kantoran. Musuh itu sesungguhnya sangat jelas. Namun demikian karena
begitu mudah dan jelasnya, ternyata menjadikan gerakan itu sulit
berhasil dilakukan. Mungkin karena antara petugas pemberantas korupsi
dan pelaku korupsi berada dalam satu tempat atau setidak-tidaknya berada
pada tempat yang tidak berjauhan jaraknya, pderlawanan itu justru tidak
mudah dilakukan. Bagi pejabat pemerintah, ----------bisa jadi, melawan
korupsi sama artinya dengan melawan dirinya sendiri.
Ada dua
hal terkait dengan korupsi yang saya anggap penting untuk saya kemukakan
dalam tulisan ini. Pertama adalah tentang munculnya mental korup dan
yang kedua, saya ingin menunjukkan kembali --------karena sudah beberapa
kali saya tulis, tentang cara sederhana mencegah korupsi. Kedua hal
tersebut saya rasa penting diungkapkan di saat kita sedang memperingatai
hari anti korupsi sedunia ini.
Terkait dengan persoalan
pertama, yaitu munculnya mental korup. Kiranya kita sepakat bahwa mental
korup itu belum tentu dibawa oleh yang bersangkutan sejak mereka
mendapatkan pekerjaan di kantor itu. Pada umumnya para pegawai baru
menyandang idealisme yang tinggi. Di awal menerima status sebagai
pegawai, mereka berniat akan bekerja sejujur dan sebaik mungkin. Akan
tetapi ternyata, karena ada peluang, suasana yang memungkinkan, dan
bahkan juga kultur yang mendukung, maka penyakit itu bersemi dan tumbuh.
Akhirnya mental korup itu berkembang, apalagi tatkala mereka menempati
tempat yang memungkinkan untuk melakukan kejahatan itu.
Jika
pandangan tersebut di muka benar, maka membasmi penyakit korupsi tidak
cukup ------sekalipun itu perlu, hanya sebatas menambah institusi dan
atau menambah personal pemberantas korupsi. Seketat apapun pengawasan
itu dilakukan, dan seberat apapun resiko itu diberikan, jika para
pejabat atau pegawai yang bersangkutan sudah bermental korup, maka ada
saja jalan atau peluang untuk melakukannya. Bahkan semakin ketat dan
semakin banyaknya peraturan, maka para penyandang mental korup akan
semakin pandai mencari strategi untuk melakukan tindakan yang merugikan
masyarakat luas itu.
Oleh karena itu maka, yang seharusnya
masih diperlukan adalah bagaimana membangun system secara menyeluruh,
agar dengan system itu mental korup itu tidak muncul, apalagi tumbuh dan
berkembang. Jika sementara ini, selalu saja bermunculan tindak korupsi,
maka artinya system yang dibangun selama ini, memang berpotensi
melahirkan mental korup. Sistemlah yang menganak-pinakkan atau yang
memproduksi mental korup itu. Dengan system itu, ternyata siapapun yang
menempati posisi itu, mentalnya selalu berubah menjadi bermental korup.
Jika pandangan ini benar, maka sesunguhnya kita justru patut menaruh
belas kasihan terhadap orang-orang yang selama ini korup, karena
ternyata mental mereka terbentuk oleh system atau manajemen itu.
Selanjutnya
adalah terkait dengan apa yang saya sebut sebagai cara mudah untuk
mencegah tindakan korupsi. Saya berpandangan bahwa jika di suatu lembaga
atau instansi selalu saja digerakkan semangat untuk memberi, dan bukan
semangat untuk mengambil, atau semangat berkorban atau mengurangi dan
bukan sebaliknya semangat untuk menambah, maka suasana itu dengan
sendirinya akan membunuh mental menyimpang atau disebut dengan mental
korup itu. Namun sebaliknya, jika yang selalu ditumbuh-kembangkan di
lembaga atau instansi itu adalah semangat mendapatkan tambahan, dengan
cara menambah honor ini dan honor itu secara terus menerus, maka akan
melahirkan iklim yang dapat menumbuh-suburkan mental korup itu.
Semangat memberi dan atau berkorban itu sudah lama saya terapkan di
kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Terus terang dengan saya
pelopori sendiri, yakni selalu menyisihkan 20 % dari pendapatan/gaji
setiap bulan untuk diinfaqkan dan bahkan pada tahun-tahun terakhir ini,
saya mencoba untuk tidak menerima serupiah pun tunjangan sebagai
pimpinan universitas, ternyata cara itu memiliki kekuatan yang luar
biasa dalam menjauhkan warga kampus melakukan penyimpangan. Dana itu
saya serahkan kepada ZIS (lembaga Zakat Infaq dan Shadaqoh) kampus dan
kemudian sebagiannya, digunakan untuk membantu mahasiswa yang mengalami
kesulitan keuangan.
Saya merasakan bahwa strategi itu memiliki
kekuatan yang luar biasa, karena selain berhasil mendorong para
pejabat, dosen, dan karyawan untuk berinfaq, sekaligus juga mencegah
munculnya mental korup itu. Bahkan, kadang saya terharu, dampaknya tidak
saja terhadap para PNS di kampus, melainkan juga diikuti oleh para
mahasiswa. Saya pernah mendengar, bahwa dengan caranya sendiri, para
mahasiswa setiap saat menyisihkan sebagian bekalnya dan kemudian
mengumpulkan bersama untuk kemudian pada waktu tertentu digunakan untuk
membiayai kegiatan pengabdian masyarakat, misalnya untuk menyantuni anak
jalanan. Kegiatan itu saya nilai sangat mulia dan terpuji. Saya sangat
bangga mendengar informasi itu.
Maka sesungguhnya
pemberantasan korupsi bisa saja dilakukan dengan cara murah, mudah, dan
tanpa harus ada resiko kemanusiaan yang sesungguhnya sangat menyedihkan.
Saya mengatakan sangat menyedihkan, karena selalu membayangkan,
alangkah besarnya beban penderitaan seorang pejabat tinggi, yang
sebelumnya dihormati, dihargai, dan bahkan dimuliakan, ternyata akhirnya
dipenjarakan. Saya yakin, tidak saja yang bersangkutan yang menanggung
derita itu, tetapi juga seluruh keluarga besarnya akan ikut merasakan.
Selebihnya, kerugian itu bukan saja berupa penderitaan bagi pelaku dan
keluarganya, melainkan sebenarnya juga bangsa ini secara keseluruhan
juga merugi. Tatkala para pejabat dan para ahli harus
diparkir,----karena melakukan korupsi, maka artinya putra-putri bangsa
ini yang semula dipandang terbaik akan berubah menjadi sosok yang
terjelek. Selain itu, dengan banyaknya pejabat yang masuk penjara karena
korupsi, maka bangsa ini juga akan kehilangan kekayaan yang amat
berharga, yaitu ketauladanan.
Atas dasar pandangan tersebut di
muka maka semestinya, --------apalagi di saat memperingati hari anti
korupsi sedunia seperti sekarang ini, maka perlu dicari cara-cara
pencegahan munculnya mental korup yang lebih efektif. Memerangi tindak
korupsi adalah penting, tetapi upaya membangun system yang dimungkinkan
agar mental korup tidak tumbuh, adalah sangat mendesak danb lebih
penting lagi. Selain itu, saya ingin mengatakan bahwa, sesungguhnya
mencegah korupsi juga bisa dilakukan dengan cara murah, mudah, dan
sederhana, yaitu cukup dilakukan dengan memberi contoh atau
ketauladanan. Tauladan itu misalnya, sehari-hari pimpinan harus mau
selalu memberi dan atau mengurangi apa yang diterimanya. Sebaliknya,
suasana mencari tambahan hendaknya dihindari sejauh-jauhnya. Jika para
pemimpin mau melaskukan hal itu, insya Allah, apa yang kita benci yakni
tumbuhnya mental korup akan bisa dihindari. Wallahu a’lam.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar